Oleh Tiko Septianto
LEMBAGA seperti DPR di Senayan Jakarta sampai kini masih jadi panggung dagelan yang menarik, tapi sekaligus memuakkan.
Tingkah laku para anggota dewan ini memang layaknya sebuah pementasan dagelan di sebuah panggung hiburan. Aksi mereka yang kocak, penuh intrik, suka jalan-jalan, sok pahlawan dan saling sikut menyikut antar rekan sejawat, menyita sebagian besar perhatian media-media massa yang mungkin rating-nya bahkan melebihi tayangan-tayangan sinetron.
Coba saja lihat aksi nonton video porno salah seorang anggota DPR saat sidang paripurna, atau aksi mereka saat jalan-jalan keluar negeri yang katanya untuk studi banding. Hasilnya? Jalan-jalan doang kok, katanya studi atau belajar. Semoga ilmunya bisa dan akan diterapkan ya. Belum lagi tingkah heroik mereka saat menyeret Bank Century yang melibatkan beberapa petinggi negara yang saat itu berkuasa. Mana hasilnya? Yang jadi malah penghamburan uang buat biaya operasional.
Gedung DPR yang hanya berkapasitas 400 orang tersebut dirasakan terlalu sesak, karena saat ini telah dihuni sekitar 3000 an orang. Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang akan dipakai untuk pembangunan gedung baru DPR tersebut sebesar Rp 1,3 triliun.
Fokus sidang
Dalam rapat konsultasi yang berlangsung di Gedung Nusantara III, kamis (7/4), Marzuki Ali, Ketua DPR langsung membuka pertanyaan tentang fokus sidang tersebut tanpa basa-basi lebih lanjut. Dia menanyakan sikap tiap fraksi terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR.
Beberapa anggota dewan sebagian besar setuju dengan keputusan tersebut, namun ada pula yang menyatakan keberatan dengan sejumlah alasan.
Partai-partai yang tergabung dalam satu koalisi seperti Golkar, Demokrat dan PPP menunjukan kekompakannya dengan menyatakan setuju atas pembangunan gedung baru DPR tersebut.
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat mengekor dibelakang dengan memberi sedikit catatan-catatan kecil. PAN dan Gerindra semula dengan tegas memang menyatakan sikap keberatannya, tetapi belakangan malah menyetujui.
Sikap tidak sepaham antara kader dalam partai sempat ditunjukan oleh kader di Partai PDI Perjuangan (PDIP). Maruar Sirait, kader PDIP ini dengan tegas menolak pembangunan gedung baru tersebut, hal ini berlainan sikap dengan Bambang Wuryanto dan Theodorus J.Koekrits yang semula telah menyatakan keberpihakan partai banteng ini.
Sikap keberatan juga ditunjukan oleh Edhy Prabowo dari partai Gerindra, ia meminta anggaran untuk gedung baru tersebut dihapuskan. Tapi pada akhirnya, seolah harus jawaban "setuju" saja yang muncul dipermukaan.
Kabarnya, rencana pembangunan gedung baru DPR ini dikisahkan saat tahun 2005. Ketika itu serombongan Tim dari Badan Urusan Rumah Tangga DPR berkunjung ke luar negeri untuk membanding-bandingkan kantor wakil rakyat di beberapa negara.
Reformasi DPR
Jadilah kemudian, tahun 2007 dibentuklah Tim Peningkatan Kerja DPR. Dipimpin langsung oleh ketua DPR saat itu, Agung Laksono, mereka membentuk sebuah program bernama 'reformasi DPR'. Salah satu langkahnya adalah membuat sebuah bangunan fenomenal yang diharapkan dapat menjadi sebuah bangunan yang monumental, sebagai markas wakil rakyat yang baru.
Namun tiba-tiba, langkah mereka diserobot oleh Sekertariat Jenderal DPR. Sekjen DPR ini kemudian memutuskan langsung pelelangan yang digelar Juni 2008. Nilai pelelangan saat itu sebesar Rp 4,15 miliar dan ditentukan pula pemenang lelangnya yaitu PT Virama Karya.
Sedangkan pemenang lelang pekerjaan konsultan perencana dan manajemen konstruksi adalah PT Yodya Karya, dengan nilai saat itu sebesaar Rp 4,48 miliar. Langkah ini yang kemudian dianggap 'mencuri start'. Semuanya jadi terkesan diburu-buru karena tanpa sayembara sebelumnya. Menanggapi itu, Agung Laksono yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengatakan tidak ada sayembara karena waktunya tidak mengijinkan.
Jeritan tentang penolakan memang kemudian datang juga dari luar senayan, berbagai organisasi massa mengatasnamakan rakyat secara terang-terangan mencibir langkah DPR yang terus berkelanjutan hingga periode kini, dan bahkan tambah ngotot. Tapi apalah daya, seolah 'mau nggak mau, mesti mau' telah menyumbat kuping kanan dan kiri Ketua DPR saat ini, Marzuki Ali.
Mau bagaimanapun penolakan yang datang, jajaran wakil rakyat ini tetap melangkah, tetapi tidak lagi terbatas pada keperluan mewakili kepentingan rakyat, tetapi terbatas pada kepentingan mereka.
Sejarah pendirian gedung DPR:
NO | Waktu | Peristiwa |
1 | Oktober 2008 | Sekjen adakan lelang pekerjaan konsultan. Pemenang lelang adalah PT Virama Karya (Rp 4,15 miliar) dan PT Yodya Karya (Rp 4,48 miliar) |
2 | April 2010 | Pengubahan perhitungan luas bangunan. Semula 27 lantai menjadi 36 lantai. |
3 | 20 September 2010 | DPR sepakat menunda pembangunan hingga 2011. |
4 | 12 Januari 2011 | Pembahasan kembali rencana pembangunan. |
5 | 11 Maret | Hitung-hitungan baru biaya pembangunan gedung disepakati sebesar Rp 1,138 triliun. |
6 | 14 Maret | Lelang gedung dibuka. Beberapa perusahaan ikut mendaftar. |
7 | 28 Maret | Menurut ketua DPR, Marzuki Ali, biaya pembangunan gedung ini termasuk murah dibanding gedung lain, yaitu gedung Mahkamah Konstitusi. |
8 | 7 april | Rapat konsultasi dengan keputusan pimpinan DPR, lanjutkan pembangunan. |
( Tiko Septianto /CN25 )
No comments:
Post a Comment