Soekarno, sejak memulai aktivitas pergerakan hingga menjadi presiden, sangat memperhatikan penampilan, terutama soal berpakaian. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dikalangan pergerakan saat itu, Soekarno merupakan salah satu yang mempunyai ciri khas dalam berpakaian, dan kelak diikuti oleh kalangan pergerakan lainnya.
Saat memasuki sekolah teknik di Bandung, Soekarno mulai menggunakan kemeja putih, pantalon, dan berdasi. Generasi pergerakan saat itu seperti Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Sartono, Ali Sastroamidjoyo, Syahrir, dan Amir Syarifuddin, merupakan generasi awal yang sudah mengenakan pakaian jas, celana panjang, sepatu, dan dasi. Rudolf Mrázek, seorang professor sejarah di University of Michigan, menyebut gaya berpakaian seperti ini sebagai “Indonesian dandy” (kenecisan).
Pada tahun 1928, pada sebuah kongres PNI, Soekarno menganjurkan kepada partainya untuk mengenakan pakaian “seragam” (uniform). Tak pelak lagi, usul tersebut segera menjadi polemik diantara peserta kongres, diantaranya Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi dubes dan Perdana Menteri di tahun 1950-an.
Ali Sastroamidjoyo berpendapat, kita seharusnya tidak berpakaian seragam seperti orang eropa karena bertentangan dengan kepribadian nasional, melainkan menggunakan seragam tanpa sepatu dan sandal, sehingga tampak revolusioner di mata rakyat. Tak ayal, suasana kongres menjadi riuh karena perdebatan Soekarno dengan Ali Sastroamidjojo.
Kepada Ali Sastroamidjojo, Soekarno berkata tajam,”Aku tidak setuju…banyak orang yang kaki ayam, akan tetapi mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati untuk kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan.”
Apa mau dikata, usulan Soekarno kalah saat itu. Meski begitu, Soekarno dan sebagian besar tokoh pergerakan tetap menggunakan celana panjang, jas, kemeja putih, sepatu, dan dasi. Karena penggunaan dasi itu, Soekarno pun pernah bersitegang dengan seorang penghulu (kadi), yaitu saat menikahi Oetari, putri HOS Tjokroaminoto. Si penghulu menolak menikahkan Soekarno karena menganggap dasi itu sebagai pakaian Kristen. Soekarno tetap ngotot. “Dalam hal ini biar Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi” demikian kata Soekarno.
Sebelumnya, Soekarno juga menganjurkan kepada partainya untuk memakai kopiah sebagai identitas pergerakan nasional. Saya tidak bisa menyimpulkan, siapa yang memberi inspirasi kepada Soekarno soal penggunaan kopiah ini. Ada yang mengatakan, Soekarno mengikuti penggunaan kopiah dari pemimpin Sarekat Islam (SI), HOS Tjokroaminoto, orang yang dianggap guru dan tokoh idolanya. Namun, ada juga yang mengungkapkan, penggunaan kopiah oleh Soekarno terinspirasi oleh tradisi gerakan nasionalis Turki, Kemal Attaturk.
Dalam suasana pergerakan saat itu, kopiah memiliki fungsi tambahan selain sebagai penutup kepala, yaitu menjadi alat untuk mengumpulkan sumbangan di tengah-tengah rapat akbar. Begitu kentalnya kopiah atau peci sebagai simbol pergerakan nasional, sehingga pernah penguasa Belanda memerintahkan untuk menangkap semua yang memakai peci atau kopiah.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, dimana ia diangkat menjadi Presiden, Bung Karno mulai menggunakan pakaian seragam (uniform). Bung Karno berkata; “…Aku ingin menggunakan pakaian seragam pada setiap penampilan di depan publik karena aku tahu rakyat yang tertindas senang melihat Presidennya yang berpakaian necis. Seorang pemimpin Indonesia harus menjadi seorang tokoh berwibawa tinggi. Dia harus menunjukkan kekuasaan. Bagi ras yang pernah ditaklukkan, inilah kekuasaan.”
Saat itu, Bung Karno menyusun sendiri bentuk seragamnya selaku presiden, sebuah perpaduan antara seragam militer dan pejuang sipil (rakyat). Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sedang tanda kepresidenan (bintang bersudut lima dalam lingkaran) disemakkan di kedua kelepak. Tidak ketinggalan pula, kopiah hitam yang sedikit miring ke kiri.
Sekitar tahun 1950-an, terutama setelah diangkat menjadi panglima tertinggi angkatan perang, seragam Bung Karno makin condong ke corak militer dengan menyemakkan tanda jasa di bagian dada. Disamping itu, dia juga masih memiliki stok gaya berpakaian lain seperti stelan jas putih dan baju safari lengan pendek maupun lengan panjang.
Dengan berpakaian seperti itu, tidak berarti bahwa Soekarno hendak menunjukkan watak kejantanan atau maskulinitas. Tidak! Soekarno berpakaian seperti itu untuk menunjukkan kepercayaan kepada rakyat. Bung Karno berkata, “kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan. Kepercayaan ini pindah kepada rakyat. Dan mereka memerlukan ini.” Ini, dalam fikiran Bung Karno, merupakan sarana penting untuk mengangkat kepercayaan rakyat dan mengeluarkannya dari perasaan inferior peninggalan kolonialisme.
Demikianlah, seragam dimata Bung Karno tidak hanya menunjukkan identitas nasional, melainkan sebagai alat untuk membangkitkan kepercayaan dan martabat rakyat. Bukankah sebelum membangun suatu bangsa, kita perlu membangun jiwa dan mentalnya lebih dahulu.
Sebagai ahli psikologi massa, Bung Karno sangat mengerti dengan baik, bahwa dalam sebuah negeri, dimana 50% penduduknya buta-huruf, selain menciptakan pengaruh kata-kata dan pidato-pidato, perlu juga untuk menciptakan “penampilan” layaknya pemimpin besar di hadapan rakyat.
Lantas, kalau bercermin pada situasi saat ini, dimana pejabat korup dan penindas rakyat banyak yang mengenakan jas dan kopiah, apakah masih pantas memakai simbol-simbol itu? Pada saat-saat tertentu, dimana masyarakat kita sangat mudah dipengaruhi image atau tampilan luar, kita memang harus mengenakan pakaian-pakaian semacam itu. Bagi saya, tidak soal harus memakai jas dan kopiah atau tidak, tapi intinya ialah harus rapi dan elegan di hadapan rakyat. (Rudi Hartono, 2010)