Wednesday, July 13, 2011

Nagabonar jadi 2 : Patriotik Abad 21


Siapa bilang film yang mengusung tema kepahlawanan dan nasionalisme adalah film yang berat, membosankan, dan menggurui? Bisa dibilang “Nagabonar jadi 2” telah mendobrak kejenuhan sebagian besar orang pada film-film Indonesia yag sukanya main setan-setanan dan soal cinta yang muter di situ-situ aja.
Kembalinya sebuah ikon
Hingga sebulan setelah dirilis, “Nagabonar jadi 2” masih beredar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Tidak banyak film Indonesia yang berprestasi ini. Yang lebihoke lagi, film ini juga sarat dengan pesan-pesan moral, nilai-nilai kepahlawanan, plus nilai relijius.
Film yang merupakan sekuel dari “Nagabonar” yang dibuat pada tahun 1987 ini memang bagus sekali. Lepas dari beberapa kekurangan yang ada, film ini adalah darah segar untuk perfilman Indonesia. Mungkin anda belum lahir atau masih kecil saat film Nagabonar pertama dirilis. Nagabonar memang jadi ikon Mainstream tersendiri untuk film Indonesia saat itu.

Konflik Beda Zaman Ayah dan Anak
Film pertama “Nagabonar” sendiri memang film perjuangan berbalut komedi (atau lebih tepat komedi berseting perjuangan). Alkisah di tanah Batak pada masa awal kemerdekaan(tahun 1945-an) hidup seorang pencopet ulung bernama Nagabonar (Deddy Mizwar). Nagabonar punya sahabat yang sangat setia bernama Bujang. Suatu hari Nagabonar mendengar kabar dari Bang Pohan bahwa Indonesia sudah merdeka namun Belanda ingin merebut kembali kemerdekaan tersebut. Nagabonar dan sahabatnya (yang sebenarnya sudah dilarang ikut tetapi memaksa) ikut berjuang melawan Belanda. Hingga akhirnya terjadi gencatan senjata dan Belanda mengajak berunding untuk menentukan garis demarkasi. Agar punya “izzah” di hadapan Belanda saat berunding, Nagabonar dan kawan satu pasukannya memutuskan untuk member pangkat kemiliteran pada diri masing-masing. Tentu saja, Nagabonar jadi jenderal. Bisa ditebak, Belanda melanggar sendiri perundingan tersebut, Nagabonar dan pasukannya pun kembali menyerang Belanda. Bujang, sahabat setia tewas dalam pertempuran.
Begitulah cerita film Nagabonar pertama yang diselipi juga kisah cinta antara Naga dengan Kirana. Bagaimana dengan sekuel Nagabonar jadi 2? Bisa dibilang sekuel Nagabonar jadi 2 adalah sebuah pesan kepahlawanan abad 21. Bercerita tentang kehidupan Nagabonar (tetap diperankan Deddy Mizwar, yang sekaligus sebagai sutradara) dan anaknya, Bonaga (Tora Sudiro) di masa kini. Nagabonar tentu sudah tua. Kali ini “sang jenderal” diajak oleh anaknya ke Jakarta. Ada apa? Bonaga yang telah sukses sebagai pengusaha mendapat tawaran dari investor luar negeri untuk membangun sebuah resort. Yang jadi masalah, resort akan dibangun di lahan dimana bersemayam tiga jasad. Emak, istri, dan sahabat setia Nagabonar. Yup, Bonaga ingin menjual kebun kelapa sawit milik bapaknya. Tentu Nagabonar meradang dengan rencana sang anak dan Pomo, Ronny, dan Jaki (sahabat Bonaga) yang diperankan oleh Darius Sinathrya, Uli Herdinansyah, dan Michael Mulyadro, Monita (Wulan Guritno).
Pertemuan Nagabonar dengan Umar (Lukman Sardi), anak seorang pejuang yang jadi supir bajai dan menjalani kehidupan sederhana, menjadi titik balik sikap Nagabonar dalam melihat dunia dan kehidupan.


Bajaj dan patung Jenderal Sudirman
Film ini benar-benar membuat penonton betah menyimak dari awal sampai akhir. Dialog-dialog yang cerdas dibalut dengan humor yang membuat kita menangis karena lucu juga haru. Saat Nagabonar keliling Jakarta denagn Bajaj terus dilarang masuk jalan protokol Sudirman misalnya, adegan dialog antara Nagabonar dengan polisi benar-benar membuat sakit perut. Begitu juga saat Nagabonar meminta patung Jenderal Sudirman untuk menurunkan tangannya dari sikap menghormat , membuat kita tercengang. “Jenderal, tidak semua orang-orang ini pantas kau hormati !”. Memang sedikit berlebihan saat Nagabonar bergelantungan di tambang dan memohon-mohon pada patung.
Penonton diajak melihat kesenjangan komunikasi dan perspektif dua generasi dalam melihat dan menyikapi zaman. Sesuatu yang sebenarnya lumrah terjadi, namun menjadi unik dan istimewa karena latar belakang Nagabonar dan kekuatan karakternya yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Karakter khas yang hanya dimiliki oleh seorang mantan pencopet yang kemudian diangkat menjadi “jenderal” di masa perjuangan . karakter Nagabonar inilah kemudian membuat konflik dalam film ini berkembang cantik.

Bertabur kritik dan pesan, namun tidak membuat bosan
Jika film “Nagabonar” tahun 1987 menggunakan setting zaman penjajahan Belanda, maka “Nagabonarjadi 2” menggunakan setting masa kini, lengkap dengan “penampakan” busway (bus transjakarta) dan negeri yang semakin berkembang. Musuh yang harus dihadapi Nagabonar bukan lagi para penjajah, namun ia juga harus melawan era globalisasi serta kapitalisasi. Nilai-nilai moral dan reliji yang semakin tergerus serta ditampilkan dengan manis. Muslim yang cuma Islam KTP, penyalahgunaan kalimat “Insya Allah”, penggelapan pajak,hingga kehidupan homo, dikritik dengan halus dalam film ini. Seorang supir bajaj (diperankan oleh Opik kumis) juga berusaha mengingatkan kita meski berkerja keras shalat harus tetap ditegakkan. Dua jempol deh untuk Oom Deddy Mizwar, juga penulis scenario (Musfar Yasin). Dialog-dialog yang “dalem” dapat disampaikan dengan adegan yang menyisakan tawa. Bahkan dalam adegan yang sedih dan mengharukan sekalipun penonton tetap akan menyelipkan tawa lepas walau getir. Mudah-mudahan anak-anak muda yang menonton film ini lebih ingat pesan-pesan yang berusaha disampaikan film ini. Sayang bila hanya menyisakan tawa.

[ sumber : Annida No.9/XVI ]

No comments:

Post a Comment