Ketika urbanisasi menjadi sebuah keniscayaan, kota besar pun menjadi sumber penghidupan utama populasi sebuah negara. Tetapi jangan sampai pembangunan kota-kota besar di Indonesia mengacu pada Jakarta. Ini contoh kota yang gagal!
Pertumbuhan ekonomi dunia mengubah wajah tiap negara. Nantinya, urbanisasi menjadi sebuah keniscayaan. Kota besar pun menjadi sumber penghidupan utama penduduk sebuah negara. Ahli perkotaan dari University of Stuttgart, Jerman, Eckhart Ribbeck memperkirakan dalam 10-15 tahun ke depan, akan ada 60% populasi dunia yang tinggal di perkotaan.
Ini artinya kemunculan setumpuk persoalan, dari mulai penyediaan perumahan, pekerjaan, infrastruktur, air bersih, pengelolaan sampah, sampai kendaraan umum. Di Cina saja sudah terjadi perubahan dramatis dengan munculnya kota-kota baru dalam 18-20 tahun terakhir.
Menurut Ribbeck, ini baru awalnya. Setiap 10 tahun, pemerintah Cina harus menyediakan perumahan, pekerjaan dan infrastruktur untuk 100 juta orang yang akan datang ke kota. Yang memudahkan pemerintah Cina untuk menyediakan perumahan bagi sekian banyak orang adalah, bahwa mereka memiliki semua lahan di Cina.
Persoalan penyediaan rumah dan infrastruktur seperti ini juga sesuatu yang harus mulai dipikirkan oleh pemerintah berbagai daerah di Indonesia. Dalam 15 tahun ke depan, Indonesia sebagai negara agraris tinggal kenangan masa lalu belaka. Dan setiap 10 tahun, sekitar 10 juta orang akan datang ke kota-kota besar (terutama Jakarta) untuk mencari sumber penghidupan. Maka penyelesaian yang sering diambil oleh Pemprov DKI Jakarta sekarang (seperti operasi yustisi atau himbauan untuk tidak membawa teman ke Ibu Kota), tidak akan efektif.
Yang kini sudah terjadi di berbagai kota dunia, termasuk Jakarta, adalah semakin menghilangnya kultur urban dan diganti dengan bangunan-bangunan yang mengedepankan efisiensi fungsi ekonomi. Misalnya saja, kampung-kampung mulai terganti dengan jalan layang atau apartemen atau hilangnya bangunan-bangunan tua yang menunjukkan identitas kota terganti distrik pusat bisnis. Selain di Jakarta, fenomena ini juga terjadi di Rio de Janeiro, Brasil dan Mexico City, Mexico.
Ribbeck mengakui adanya keengganan masyarakat Indonesia untuk tinggal di bangunan vertikal. "Ini ditolak secara budaya, tapi dengan semakin mahalnya harga tanah, maka (tinggal di hunian vertikal) tidak akan bisa dihindari," kata Ribbeck, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Sayangnya lagi, hunian vertikal yang ada sekarang hanya ditujukan untuk kelas menengah ke atas. Selain hilangnya identitas kota, tidak ada percampuran budaya antar-kelas sosial masyarakat dalam hunian-hunian ini.
Ribbeck melihat adanya kesamaan fenomena kelas menengah penghuni apartemen di Beijing, Shanghai, Rio de Janeiro, Jakarta, dan Surabaya. "Tidak ada komunikasi antar-kelas sosial di kota-kota ini. Anak-anak hanya bermain di lingkungan dengan teman-teman yang latar belakang ekonominya sama, mereka pergi ke sekolah yang kelompok pemasukan orangtuanya sama," tambah Ribbeck.
Ketegangan politik antar-kelas sosial pun terjadi. Bahkan kelompok kelas menengah penghuni apartemen justru merasa ketakutan tinggal di kotanya sendiri. Ribbeck mengasosiasikannya dengan, "Tinggal di kompleks hunian negara dunia pertama, sementara di luar masih negara dunia ketiga."
Pengajar Fakultas Arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana Eko Agus Purwoto mengkhawatirkan bahwa saat ini, kota-kota di Indonesia melihat ke Jakarta sebagai model ideal sebuah kota. Padahal, kenyataannya, dengan kemacetan dan ketidaktersediaan kendaraan umum yang memadai bagi warganya, Jakarta adalah kota yang gagal.
"Ada fantasi sosial yang coba dibangun oleh pengembang yang sangat kuat mengiklankan hunian mewah eksklusif setiap akhir pekan di sebuah televisi yang disiarkan secara nasional. Saya khawatir ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada banyak orang di Indonesia," kata Eko.
Sementara itu, Jo Santoso, penulis buku Kota Tanpa Warga dan Ketua Program Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara, memiliki hitungan sendiri tentang berapa banyak orang Indonesia yang akan menghuni perkotaan. Dalam 25 tahun, sekitar 180-200 juta orang Indonesia akan tinggal di kota. Tiap tahunnya, akan ada 3,7 juta orang yang datang ke kota.
Kota, esensinya, harus ditata sebagai sebuah hunian manusia. Maka kota harus dapat mengakomodasi orang-orang yang tinggal di dalamnya dengan hunian layak. Tetapi yang terjadi di Jakarta sekarang, ada banyak tangan-tangan tak terlihat yang menentukan proses perkembangan kota.
Kekuatan tangan-tangan tak terlihat inilah yang kini tengah menggunakan Jakarta menjadi apapun selain hunian manusia. Jangan heran bila Jakarta menjadi kota yang sangat tidak nyaman ditinggali, karena kepentingan ekonomi dan politik tengah membajak pembangunan kota sebagai hunian.
Sebagai gantinya, nilai-nilai komersial memenuhi berbagai sudut kota. "Tidak ada yang mengajari kita caranya menjadi orang kota yang baik dan benar. Di rumah tidak diajarkan, di sekolah tidak diajarkan. Padahal hidup di kota adalah sebuah peradaban," kata Jo. Maka, jangan heran ketika kita mengartikan hidup di kota sebagai berakhir pekan di mal, tinggal di kawasan suburban, dan menjadi komuter menggunakan mobil pribadi dari kantor ke rumah dan sebaliknya setiap hari.
Pada akhirnya, Jakarta sebagai kota adalah sebuah peringatan bagi perkembangan kota-kota lain di Indonesia. Bahwa akan makin banyak kota-kota besar di Indonesia, tapi jangan sampai kota-kota itu kemudian menjadi Jakarta-Jakarta baru.
Foto: Tempo/Tony Hartawan
Isyana Artharini
No comments:
Post a Comment