Orang tua mana yang tak bangga melihat buah hatinya memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebab, percaya diri alias pede merupakan salah satu modal kuat dalam meraih masa depan. Sayangnya, keinginan agar buah hati memiliki rasa percaya diri tinggi, sering tak dibarengi sikap orang tua. Malah orang tua secara tak sadar sering merusak harga diri anak yang ujung-ujungnya membuat anak minder alias tak percaya diri.
“GIMANA sih kamu, masa memakai baju saja tak rapi. Sini mama betulkan.”
Mungkin kalimat ini sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari antara ibu dan anak. Tapi tahukah dampak dari kalimat “biasa” tersebut?
Psikolog perkembangan Alva Handayani, S.Psi. mengungkapkan, kalimat itu bisa mematahkan keyakinan anak bahwa dirinya mampu memakai pakaian dengan benar. “Hati-hati dengan kalimat negatif seperti itu. Kamu bandel, kamu nakal, atau kamu bodoh adalah kalimat-kalimat negatif yang bisa menanamkan kepercayaan pada anak bahwa ia memang seperti itu,” ujar Alva.
Seorang anak yang dibawa bertamu oleh orang tuanya misalnya, bisa merasa memang dirinya pemalu akibat kalimat yang keluar dari orang tua,”Maaf ya, anak saya ini pemalu.”
Sayangnya, anak-anak ternyata lebih sering menerima kalimat-kalimat negatif dibandingkan kalimat positif. Tidak saja di bumi pertiwi ini, juga di berbagai belahan negara lainnya. Mengutip penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Alva menyebutkan, setiap hari anak mendapat perkataan negatif sebanyak 750 kata. Sebaliknya mereka hanya memperoleh kata positif sebanyak 65 kata per hari!
“Bandingkan betapa porsi kata negatifnya lebih banyak dari kata positif. Menurut penelitian tersebut, kata negatif yang diperoleh anak datang tidak saja dari orang tuanya, tetapi dari lingkungan lainnya seperti nenek, teman, saudara, bahkan gurunya,” ucap Alva, prihatin.
Padahal, untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anak, salah satu pupuk mujarab adalah dengan memberi mereka kata-kata positif, salah satunya berupa pujian jika anak melakukan sesuatu yang baik. Akan tetapi, pujian tersebut juga tidak boleh berlebihan. Jika porsi pujian diberikan di luar kewajaran, malah akan menjadi bumerang bagi anak, yaitu menjadikan anak overconfidence alias terlalu pede.
Ketika anak sudah terlalu pede, ia akan sulit menerima feedback atau saran dari orang lain. Ia akan selalu merasa benar dan menyalahkan orang lain. Dengan sifat demikian, dalam hubungan sosial tentu saja ia akan dijauhi oleh lingkungannya.
**
MENUMBUHKAN rasa percaya diri pada anak ibarat memperlakukan tunas tumbuhan. Tunas tersebut bisa saja tumbuh hanya dengan bantuan alam, namun alangkah lebih suburnya jika kita ikut menyirami dan memupuk tunas yang tersebut.
Menurut Alva, banyak hal yang bisa dilakukan orang tua dalam membantu anak memperoleh rasa percaya diri. “Misalnya, saat anak bertanya orang tua bisa menunjukkan rasa antusiasmenya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Lebih jauh bahkan mendorong anak untuk terus bertanya lagi, misalnya dengan ‘Oke, kamu mau tanya apa lagi?” Kebiasaan ini membuat anak kelak berani bertanya di kelas. Jika anak tidak dilatih berani bertanya di rumah, di sekolah ia bisa kebingungan dan takut terhadap komentar teman atau gurunya jika ia bertanya sesuatu,” tutur Alva.
Rasa percaya diri juga ditumbuhkan melalui hal-hal yang kelihatan sepele namun sangat bermanfaat, misalnya melibatkan anak dalam mengambil keputusan di rumah.
“Contohnya anak diminta untuk mengusulkan akan ke mana pada liburan kali ini. Kalaupun kelak usulan itu ternyata tidak masuk akal atau tidak bisa dipenuhi, anak tetap diberi penghargaan atas usulannya. Dan orang tua menjelaskan dan memberikan alasan yang masuk akal mengapa mereka tak bisa menerima usulan tersebut,” katanya.
Untuk membuat anak percaya diri, orang tua harus melakukan pola asuh yang menstimulus atau merangsanag rasa percaya diri anak. Orang tua juga bisa membantu anak mendapatkan rasa percaya diri dengan mencari sumber percaya diri tersebut, yaitu potensi diri.
Potensi diri pada masing-masing anak bisa berbeda-beda. Ada yang bisa digali dari hasil akademisnya atau prestasi di sekolahnya. Namun, bukan berarti anak yang tidak berprestasi di sekolah tak memiliki sumber percaya diri tersebut. Potensi diri anak bisa digali dari jalur lainnya, misalnya kemampuan menyanyi, menari, atau juga sifat baik hati, ringan tangan, dan sebagainya.
Hal yang hampir sama dikemukakan International Director John Robert Power untuk Indonesia, Indayati Oetomo. Menurutnya, seorang anak yang pede tidak selalu berarti pandai, namun ia berani tampil dan mampu bersosialisasi dengan baik. “Anak itu juga biasanya atraktif,” katanya di sela-sela acara pencarian anak-anak pede “Bintang Pede Brseragam Putih Surf”, Minggu (27/8).
Berkaitan dengan pemumpukan rasa percaya diri ini, Alva merasa tidak sreg dengan sistem peringkat di kelas. Peringkat kelas yang dibuat merujuk emampuan akademik bisa membuat anak yang tidak masuk jajaran besar merasa rendah diri dan menganggap dirinya bodoh.
Kejadian lucu namun juga mengaharukan terjadi pada salah seorang klien kecil Alva. Anak lugu yang baru kelas 1 SD tersebut bingung ketika tak mendengar namanya disebutkan dalam perolehan 10 besar murid di kelasnya. Ia berkata pada orang tuanya, “Ibu guru kayaknya ngggak kenal aku ya?”
Ketika sekelompok orang setuju dengan sistem peringkat nilai akademik dengan alasan untuk mengetahaui kemampuan akademik anaknya, menurut Alva bisa disiasati dengan cara menanyakan langsung kepada guru yang bersangkutan. Guru boleh mengurutkan anak berdasarkan jumlah nilainya, namun tidak diumumkan langsung pada anak-anak. Orang tua yang berkepentingan bisa menanyakannya diam-diam.
**
MENANAMKAN sikap percaya diri hendaknya dilakukan sedini mungkin, terutama pada anak umur 5 hingga 12 tahun, saat didikan orang tua tertanam baik di otak anak.
Karena sifatnya bukan instan, sebaiknya rasa pede dipupuk sejak kecil. Jika sejak kecil anak sudah memiliki rasa pede yang kuat, lebih mudah untuk mengembangkan diri dan potensi yang ada pada dirinya,” ujar Indayati.
Menurut Indayati, rasa pede adalah bahan bakar utama keberhasilan seseorang dalam hidup ini. “Begitu bahan bakar itu didapat, tercapainya keberhasilan dalam segala kegiatan hanya masalah waktu, tergantung usaha yang dilakukan seseorang,” katanya.
Saat orang tua ingin anaknya pede, sebaiknya ia tidak overprotective, namun tut wuri handayani. “Lepaskan anak untuk berkiprah dan orang tua mendorong dari belakang. Jangan terlalu banyak larangan, sehingga anak nanti ketakutan sendiri. Jangan menargetkan sesuatu untuk anak. Obsesi orang tua justru akan menekan anak. Berikan anak kenyamanan, bukan tekanan,” kata Indayati.
Intervensi yang terlalu banyak dari orang tua, kata Indayati, akan mematikan kreativitas anak. Makanya, ia menyarankan, orang tua melatih anak sedini mungkin untuk ikut berkompetisi, berani tampil, sehingga ia kelak menjadi pede. (Ella/”PR”/Uci)***